Pict by Pinterest
Pernah pada suatu ketika, aku melihat pantulan diriku pada cermin. Aku menatapnya lekat lekat, menyaksikan bahwa sepertinya secara perlahan lahan aku telah lupa akan siapa diriku sebenarnya. Sudah banyak luka yang dianggap tidak ada hingga bekas goresannya mengering tanpa tau kapan lukanya. Ada banyak bekas tetesan air mata yang ketika aku perhatikan kembali aku juga sudah lupa apa penyebabnya.
Ketika aku melihat diriku di cermin,
Aku juga sedang melihat seorang anak kecil yang sedang berdiri merengkuh seluruh asa nya, tangannya penuh membawa banyak harapan, wajahnya ceria meski rambutnya berantakan karena berlarian mengejar cita citanya, lutut dan sikunya penuh luka karena jatuh ketika belajar berlari dan menyeimbangkan tubuhnya agar tetap tegar, matanya berbinar namun aku tidak tau pasti entah berbinar atau karena ada tangis yang sedang ia tahan karena keduanya sama sama memiliki kilatan air mata.
Teringat pada lagu Mata Air milik Hindia katanya,
Menghabiskan gaji untuk diriku sendiri
Membeli satu tiket film terkini
Memesan yang cukup hanya untuk satu porsi
Menyanyikan Kunto Aji di tengah muda-mudi
Rasanya lirik ini begitu menyenangkan, menghabiskan masa muda seperti apa yang selayaknya anak muda habiskan. Mungkin dengan membeli satu tiket film untuk diri sendiri dan tidak memikirkan apapun lagi. Memesan makanan yang cukup hanya untuk satu porsi dan tidak terbebani bagaimana kalau ini berlebihan untuk dinikmati. Menyenangkan.
Lagu itu berlanjut pada lirik,
Semua jatuh bangunmu, hal yang biasa
Angan dan pertanyaan, waktu yang menjawabnya
Berikan tenggat waktu, bersedihlah secukupnya
Rayakan perasaanmu sebagai manusia
Rayakan perasaanmu sebagai manusia, sepertinya sudah lama aku tidak merayakan perasaanku sebagai manusia. Sepertinya, aku sudah lupa bagaimana menjadi manusia.
Komentar
Posting Komentar