pict by pinterest
Hari itu beredar sebuah pesan singkat di grup yang memberitahukan bahwa akan ada pemadaman bergilir selama 12 jam. Dasarnya memang di grup keluarga, jadi ya benar saja ibu paling heboh menanggapinya.
"Waduh, gimana nih. Besok lagi banyak acara dikuar, kamu gak papa kan dirumah sendirian?" Tanya ibu.
"Kakak kan udah gede bu, pasti berani lah. Lagi pula ada mbak Yah, adek dan pak Santo di rumah" Jawab ayah.
Percakapan kami memang di grup keluarga karena saat ini ayah dan ibu masih di perjalanan untuk pulang dan kemudian berangkat lagi.
"Aman lah bu, yah. Besok kan adek juga masuk nya bentar doang." Jawabku menenangkan mereka,
"Eh eh, siapa bilang. Aku besok ada basket kak, dan acara kampus. Kakak kan tau maba lagi sibuk sibuknya" jawab Roki, adik ku.
"Tapi ceperan ya, pemadamannya dari siang sampe malem nih, kalau bisa kamu sore udah di rumah." jawabku cepat.
"Kakak izinin lah, kan kakak juga kenal sama ketua panitianya" ledek Roki.
Aku malas membalas pesan terakhir Roki di grup, pasti setelah ini ibu dan ayah akan menyiapkan sederet pertanyaan tentang siapa yang Roki maksud. 30 menit berlalu, terdengar suara ketukan pintu kamar.
"Riana"
aku mendengar suara ibu, bergegas aku menuruni tempat tidur dan membuka pintu kamar.
"iyaa bu.." ucapku menggantung. tidak ada siapapun di depan pintu kamar.
Ditengah kebingungan aku mencoba memastikan untuk turun ke lantai satu dan menemui mbak Yah, asisten rumah tangga di rumahku.
"Mbak Yahhh, mbak Yahhh" teriakku sambil menuruni tangga.
"Iya mbak, kenapa?" Jawab mbak yah dari arah dapur.
"Mbak, ibu tadi sudah pulang? sama ayah" tanyaku.
"Ibu sama bapak tadi minta pak Santo untuk mengirimkan barang barangnya mbak. Katanya gak sempat pulang soalnya harus ngejar flight. Memangnya kenapa mbak?" tanya mbak Yah balik.
Seketika aku berpikir ulang, suara yang tadi terdengar jelas memanggilku di depan pintu, siapa pemiliknya.
"Oh, gitu ya mbak, gapapa sih. Mbak Yah malem ini sampai ibu dan ayah pulang tidur disini aja ya" ucapku dengan cepat.
"Waduh mbak, saya mau aja sih. tapi baju saya kan masih di kosan mbak. Kalau saya ambil dulu gimana?" Tawar mbak Yah.
"Boleh mbak, nanti aku anterin deh," Jawabku cepat.
Keanehan dirumah ku sebenarnya sudah menjadi cerita lama bagi keluarga ku. Sepeninggal pemilik sebelumnya, ayah membeli rumah ini dengan harga yang cukup murah dibandingkan dengan harga rumah di sekitar sini pada umumnya. Saat itu, perekonomian keluarga kami masih belum sebaik sekarang. Jadi tanpa mempertimbangkan banyak faktor, ayah membeli rumah ini.
Mbak Yah, adalah ART yang bekerja dengan ayah dan ibu sejak kami (aku dan Roki) kecil. Mbak Yah merupakan istri pak Santo dan mereka memiliki seorang anak berusia 15 tahun yang tinggal di pondok pesantren di desa mbak Yah.
Hubungan keluarga kami dengan mbak Yah sangat dekat bahkan sering kali mbak Yah pergi berlibur bersama keluargaku. Jam menunjukkan pukul 19.00. Terdengar suara ketukan pintu kamarku. Seketika mengingatkan ku tentang kejadian sore tadi. Aku hanya terdiam, menunggu bilamana ada suara panggilan menyusul berikutnya.
"Mbak, ini mbak Yah." Ucap seseorang di balik pintu. Dengan cepat aku membuka pintu dan mendapati mbak Yah sudah berbaju rapi.
"Mbak Yah mau kemana?" tanyaku.
"Itu mbak, tadi mbak Riana kan janjian saya buat ambil baju mbak Yah sama pak Santo. Kalau sekarang gimana mbak?" jawab mbak Yah.
"Wah boleh banget, ayo mbak. Tunggu di bawah ya mbak, aku siap siap dulu." Jawabku dengan gembira.
"Miya mbak, pak Santo udah balik dari anterin barang ayah sama ibu?" Tanyaku pada mbak Yah.
"Belum mbak, tapi tadi pak Santo sudah WA saya katanya lagi di bandara nungguin bapak sama ibu take off sekalian. Sekarang mereka lagi nunggu jam take off mbak" Jawab mbak Yah.
"Oala gitu, ibu sama ayah take off jam berapa mbak?" tanyaku kepada mbak Yah.
"Jam 21.00 mbak" jawab mbak Yah singkat. Setelahnya, aku menutup pintu kamar untuk kemudian bersiap siap dan mengantarkan mbak Yah untuk mengambil baju di kosannya. Hingga pesan singkat muncul di notifikasi.
"Ngapain Roki chat di grup?" gumamku.
"Kak, dirumah ada siapa aja?" Tanya Roki dalam pesan singkat itu.
"Ada aku sama mbak Yah. Kenapa?" jawabku.
"Kalau cuma mau ngobrol sama aku PC aja Ki." Ucapku berikutnya.
"Pak Santo dimana?" Jawab Roki tidak mengindahkan pesan terakhirku.
"Kata mbak Yah, lagi nungguin ibu sama ayah di bandara" jawabku sesuai dengan perkataan mbak Yah.
"Lah, ngapain ditungguin? Kan ibu sama ayah udah flight dari tadi" Jawab Roki.
"Apa sih Ki, gausa becanda deh. Tadi mbak Yah sendiri yang bilang ke aku. baru aja Mbak Yah pergi dan ini aku lagi siap siap nganterin mbak Yah." terongku kepada Roki.
"Kakak ngomong apa sih, mbak Yah udah balik dari tadi kak. Baru aja aku dari rumah nya soalnya tadi nitip motor di kosan mereka. Pak Santo juga udah balik dari tadi." Jawab Roki di grup keluarga itu.
Badan ku bergetar, dasarnya memang aku seorang penakut ditambah semua kejadian hari ini yang seolah mendukung bahwa di rumah ini semuanya sedang tidak baik baik saja.
"Kak?" chat Roki singkat diluar grup Whatsapp.
"Kakak dimana?" tanya Roki lagi.
"Kakak di kamar, kamu dimana? udah sampe rumah? kakak gak berani keluar Ki." Ketik ku cepat dengan tangan gemetar.
"Aku samper ya, aku baru sampe dan lampunya mati semua" jawab Roki.
"Iyaa, sini cepet" jawabku.
Beberapa menit kemudian terdengar ketukan pintu kamar ku lagi. Hari ini aku sangat trauma mendengar ketukan pintu. Ketukan pertama aku mendengar suara ibu yang ternyata tidak ada. Ketukan kedua aku mendengar, lalu membuka pintu dan melihat mbak Yah berdiri disama. Meskipun terlihat sedikit kurus dan berpakaian rapi, tapi aku yakin itu mbak Yah. Namun, sayang seribu sayang sepertinya itu bukan mbak Yah. Kali ini giliran Roki. Aku sangat berharap bahwa yang sekarang, memang Roki.
Tok tok tok...
"kak? ka Riana?" Suara dari luar kamar.
"Kak, buka ini Roki?!" Teriaknya dari luar pintu.
Dengan langkah gugup dan berkeringat aku memberanikan diri untuk membuka pintu. Seketika aku melihat Roki dengan baju basah kuyup dan muka panik.
"Kenapa kakak lama banget buka pintunya?" cerocos Roki. Aku cukup lega, sebab Roki memang akan banyak bicara ketika kondisi dianggap genting.
Aku segera meminta Roki untuk masuk ke kamarku dan segera mengunci pintu.
"kamu habis dari mana? Kenapa basah kuyup gini?" tanyaku sembari memberi Roki handuk.
"Sekarang tanggal berma kak?" tanya Roki.
"Tanggal 21, kenapa?" jawab ku mulai panik karena sejak bertemu Roki, wajah Roki masih sangat khawatir akan suatu hal.
"Kita harus segera keluar dari rumah ini kak." jawab Roki tergesa.
"maksud kamu apa sih!?" Tanyaku dengan emosi yang mulai naik.
"Semuanya udah tau, dan sekarang targetnya kakak. Kita harus pergi sekarang, harus pergi!" Jawab Roki.
Jawaban Roki tidak serta merta memuaskanku. Aku, Riana seorang yang punya banyak tanya di kepala. Hari ini begitu melelahkan.
"Kakak coba cek pesan terakhir ibu. Tentang pemadaman bergilir" ucap Roki.
Segera aku membuka grup whatsapp dan memperhatikan isi pesan itu.
Pengumuman untuk warga perumahan indah permai. Terdapat informasi terkait pemadaman lampu bergilir pada tanggal 21 suro. Segera infokan untuk menyelamatkan dan mempersiapkan kedatangan hal hal buruk yang tidak diinginkan.
"Emangnya kenapa Ki? Apa yang salah dari pesan ini?" Tanyaku yang mulai mengeluarkan air mata.
"Kakak baca dong setiap huruf yang dicetak tebal. Pesan yang sebenarnya hanya sampai 21 Suro, kalimat berikutnya ibu yang edit kak. Lihat deh pesan aslinya yang dikirim ibu." jawab Roki dengan panik.
[RIANA MATI]
Tulisan yang dicetak tebal bila dirangkai bertuliskan namaku dan sumpah serapah yang sejujurnya aku enggan membaca.
"Kenapa yang mengirim pesan itu ibu?" tanyaku dengan air mata yang pecah keluar.
"Nanti kak aku jelasin, Kita keluar dulu sekarang" jawab Roki.
"Kita harus keluar lewat mana Ki? dikuar gelap dan entah kenapa cuma lampu kamarku aja yang nyala" jawabku panik.
"Itu tandanya kak, kita harus keluar dari arah jam yang berlawanan. Gak bisa keluar dari pintu depan. Kita harus lewat garasi." jawab Roki.
"Kamu aja yang mimpin cari jalannya, aku bakal bakal ikutin. Kunci mobil sudah di kamu?" tanyaku.
"Udah, sekarang aku minta kain merah terserah apa" ucap Roki kepadaku.
Dengan bergegas aku mencari kain merah dan mendapati syal pemberian Arsen, ketua panitia maba yang pernah Roki sebut.
"Ini Ki" ucapku sambil memberikan syal tersebut kepada Roki. Dengan cepat, Roki menutup mataku dengan kain merah itu, terasa seperti badanku melayang karena ternyata Roki menggendong ku. Terdengar suara pintu di buka. langkah ku Roki terasa cepat dan deru nafasnya terdengar berat. tak berapa lama, aku merasa badanku terhempas pada jok mobil dan sepersekian detik berikutnya mobil melaju menembus hujan yang deras.
"Aku boleh lepasin ini?" tanyaku pada Roki.
"Iya" jawabnya singkat.
"Sekarang ceritaan ke aku, kenapa dan ada apa semua hari ini?" tanyaku dengan air mata yang sudah berlinang.
"Hari itu, aku melihat mbak yah dan pak santo sedang berdiskusi dengan ayah dan ibu. Aku tidak mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan namun yang jelas ibu terlihat menangis dan ditabahkan oleh ayah, mbak yah dan pak santo. Setelah itu aku melihat pak santo mencuci mobil di depan dan aku hampiri. Menanyakan perihal percakapan sebelumnya yang menunjukkan ibu menangis. Pak santo hanya diam dan menatapku kasihan. Beliau juga hanya berpesan bahwa aku harus menjaga kakak, sebab darah akan selalu lebih kental dari air. Semakin banyak pertanyaan yang muncul di kepala karena semua informasi serba terbata bata.
Berikutnya aku coba menghampiri mbak yah di dapur. Ia menyiapkan semacam menu makan lengkap namun aneh nya diletakkan pada wadah pohon pisang dan disertakan dengan bunga lengkap 7 rupa. Aku juga melihat foto kakak diselipkan disana. Kembali aku bertanya kepada mbak Yah, perihal kejadian ibu menangis tempo hari. Mbak yah menatapku dengan mata berkaca kaca, dan ia hanya menjawab. Bahwa yang ia lakukan dan usahakan akan semaksimal mungkin meski itu akan menjadi sia sia. Lagi lagi mbak yah mengucap kalimat yang sama, hanya aku yang bisa melindungi kakak.
Teka teki ini tidak langsung terjawab hingga aku menemukan sebuah buku catatan usang di gudang. Buku itu tergeletak saja awalnya. Menjadi menarik untuk kubuka sebab sampulnya yang terlihat unik dan berbeda.
Aku meyakini bahwa buku itu milik dari pemilik rumah itu sebelumnya. Dalam buku itu, tertera sebuah syarat upacara peribadatan dimana mengorbankan seorang anak perempuan untuk mengundang kekayaan, dan aura wibawa dari pemiliknya. Namun, sayangnya upacara itu tidak pernah selesai sebab sang pemilik rumah tak kunjung memiliki anak perempuan dimana syaratnya harus lahir dengan hari yang sama dengan sang pemilik rumah. Ayah dan ibu baru mengetahui hal itu ketika ayah membersihkan gudang dan menemukan buku itu. Disana juga dituliskan bahwa yang mampu menyelamatkan adalah dia yang memiliki jiwa dan aliran darah dari sumber yang sama untuk kemudian kutukan itu dilimpahkan kepada sang peminta kekayaan. Dengan artian, hanya aku yang bisa selamatin kakak. Ayah, ibu, mbak yah dan pak santo sudah berupaya dengan memberikan banyak sesajen untuk menggantikan kakak. Tapi, makhluk pemberi
kekayaan dan aura wibawa itu cuma mau kakak yang di tumbalkan." Jelas Roki panjang lebar.
Aku terdiam, lalu menangis.
"Lalu bagaimana cara menyelamatkan ku?" Tanyaku pada Roki.
"Setelah ini, aku akan bawa kakak ke kosan pak santo dan mbak yah. Kakak harus mandi dan mensucikan diri. Kemudian mengambil darah kakak dan darahku sedikit untuk kemudian diteteskan pada air rendaman bunga 7 rupa yang nantinya akan disiramkan pada kelapa kemudian membakarnya. Darah kita ibarat pengorbanan suka rela untuk memutus kutukan itu dan mengembalikan pada yang empunya. Dan kelapa bermakna kepala dari sang pemilik rumah sebelumnya dimana keangkuhan akan membakarnya." Jawab Roki.
Aku hanya terdiam dan mengiyakan.
Beberapa saat kemudian, kami sampai di rumah pak Santo. Dan benar saja, pak santo, mbak yah, ayah
dan ibu sudah menunggu dengan cemas kalau kalau aku tidam bisa keluar dari rumah itu. Prosesi yang telah dijelaskan Roki pun segera dilaksanakan. Setelahnya tercium aroma daging terbakar sangat menyengat dan kemudian hujan menjadi reda. Kami semua berpelukan dan aku membaur dalam tangisan di tengah tengah mereka. Namun, ada hal yang masih mengganjal dibenakku. Bagaimana bisa ada ayah dan ibu disini? Aku tau betul kalau mereka sedang di luar kota. Dan beliau yang sekarang sedang memelukku, tidak satupun memiliki ekspresi entah itu sedih, bahagia, atau kecewa.
Komentar
Posting Komentar