#44 ANAK MUDA KOK GAK MELEK POLITIK

pict by pinterest

Sengaja aku mengawali tulisan ini dengan narasi keras bahwa itu memang fakta yang terjadi di lapangan. Beberapa hari yang lalu, tepatnya 27 November 2024 diadakan pesta demokrasi part 2 dalam tahun ini yang memilih kepala daerah gubernur dan bupati/walikota se-Indonesia meskipun kapital pemilihannya hanya setingkat daerah, namun nyatanya pemilihan ini juga menentukan nasib jutaan orang sesuai daerah pilihnya. 

Berbagai janji pasangan calon kepala daerah secara masif di gencarkan untuk kemudian menarik hati warganya. Dari presentase populasi, jumlah pemilih dari generasi muda (baca: generasi milenial dan gen Z) menduduki angkat tertinggi sebagai pemilih pemula. Meningkatnya jumlah generasi muda sebagai pemilih pemula secara langsung berubah pola kampanye yang sebelumnya menargetkan kalangan usia dewasa menjadi bergeser ke arah kalangan usia muda. Strategi kampanye yang sebelumnya mengedepankan visi misi kini telah berganti menjadi pemanfaatan sosial media yang minim literasi. 

Hal ini sungguh ironi, generasi muda yang seharusnya mampu menjadi tombak utama dalam meneruskan tampuk kekuasaan menjadi bagian dari masyarakat yang hampir sepenuhnya tidak peduli dengan politik. Pernyataan ini muncul didasari pada daya tarik generasi muda untuk turut berkontribusi kepada kontestasi politik yang jumlahnya belum naik secara signifikan. Pada TPS 002 Desa Sumberpucung misalnya, banyak generasi muda yang memaknai hari pemungutan suara sebagai hari libur mereka. Kalaupun mereka datang ke TPS bersama orang tuanya, mereka akan cenderung memilih pasangan calon yang telah di rekomendasikan oleh kedua orang tua mereka sebelumnya. 

Kurangnya kemampuan literasi dan menganggap politik sebagai permainan kotor dan berprinsip bahwa siapapun yang menjadi pemimpin nanti, tidak akan berpengaruh terhadap kehidupan mereka menjadikan asumsi mengenai politik kurang diminati generasi muda. Pemikiran seperti ini kurang cocok dengan label bahwa generasi muda merupakan generasi emas yang membawa perubahan. Alasan lain mengapa generasi muda banyak yang belum melek politik yaitu anggapan bahwa politik hanya urusan orang tua sehingga bukan menjadi tugas dan kewajiban mereka dalam turut serta di dalamnya. 

Aksi apatis dalam melihat politik inilah yang bisa memunculkan tindakan tindakan inkonstitusional dan pembiaran terhadapnya. Banyak kejadian dalam Pilkada yang akhirnya menjadi pembiaran akibat dari banyak generasi muda yang kurang melek politik dan apatis terhadap segala tindakan yang di ambil oleh pemerintah. Padahal, dalam segala aspek kehidupan kita politik sangat berperan. 

Segala kebijakan yang nanti nya akan dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat ditentukan dari politik. Kebijakan di bidang pendidikan, kesehatan, pangan, hak asasi manusia, keadilan dan semua aspek sangat berganti pada siapa dan dengan cara seperti apa pemimpin tersebut dipilih. Pemimpin yang lahir dari cara cara yang inkonstitusional menghalalkan segala cara dapat dipastikan akan menggunakan segala cara pula untuk mencapai visi dan misinya. Hal ini mungkin akan terdengar pragmatis namun makna dari "segala cara" juga mungkin termasuk merugikan orang lain atau melanggar hak orang lain didalaminya. 

Suara anak muda mungkin banyak yang diabaikan di sosial media oleh para pembuat kebijakan, namun perlu diingat bahwa suara kita tetap menentukan di depan kotak suara. Anak muda wajib melek politik, harus melihat politik sebagai arah perubahan dan progresivitas yang akan terus berjalan. Anak muda harus turut serta dalam menentukan arah jalan dari sebuah kebijakan. 

Boleh jadi anak muda tidak melek politik hanya dalam kondisi tertentu, ketika ia sudah merasa puas dengan kontribusinya kepada negara atau ketika ia sudah benar benar berhasil membawa perubahan. 

Komentar

Postingan Populer