#21 TEMAN YANG TIDAK TERSELAMATKAN

pict by writer

 Hari itu, ayah menelfon ku berkali kali.

 37 panggilan tak terjawab.

 Sengaja kubiarkan panggilan itu, lebih tepatnya, aku sudah tau apa yang akan ayah tanyakan. Tempo hari, lebih tepatnya seminggu yang lalu, seorang kawan sempat berkunjung ke rumah. Bagiku dia hanya teman, tapi entah apa persepsi orang.

 Kami berteman karena di kenalkan. Gampangnya, dia yang meminta dikenalkan. Aku kurang begitu perduli apakah aku punya banyak teman atau tidak, ya begini begini saja sudah terbiasa dan sudah bahagia.

Aku tidak mengenalnya sama sekali sebelumnya, begini biar aku jelaskan. Sebelumnya aku selalu punya teman dari teman ku, sederhananya aku punya banyak teman tapi dari circle yang sama, bahasa anak sekarang.

 Tanteku, dalam hal ini dia banyak mengambil peran. Pertama, dia yang mengenalkan. Kedua, dia yang memintaku untuk menjadi lebih dekat.

 Bagiku, di usiaku yang sekarang making friends not just fun as it was. Hingga, ya. Aku mencoba 'berteman' dengannya. Pertemanan kami bisa kubilang just give and give. Bukankah sebaiknya take and give ?

 Mengapa demikian?

 Di cerita ini, hanya aku yang sepertinya pengertian berlebihan, perhatian berlebihan, dan mungkin aku yang berlebihan di segala hal.

 Awalnya memang aku biasa saja, tapi saat setelah dia mengajak ku bercerita panjang lebar, aku jadi mulai menaruh rasa kasihan. Dan entah dari mana tiba tiba sayang.

 Menggelikan sekali aku menulis ini. Kalau kalian bisa menebak seperti apa kiranya mukaku sekarang, bayangkan saja makan jeruk nipis tanpa gula lalu dikunyah. Pahit dan masam.

 Hari berlalu, hingga hari itu datang. Ia berkunjung ke rumah. Seumur hidup, belum pernah aku membawa 'teman' laki laki ke rumah. Sebenarnya bukan aku yang memintanya datang. Dia sendiri yang ingin menyapa ibu dan ayah.

 Saat itu hanya ada ibu dirumah. Sengaja kubiarkan dia berbincang panjang dengan ibu dan aku di kamar. Mengapa demikian? Terkadang, aku menilai seseorang dari bagaimana dia membangun obrolan. Bisa obrolan remeh temeh, sampai obrolan serius.

 Beberapa menit kemudian, ibu masuk ke kamar dan memintaku ke luar.

 

Mas, sepertinya sudah mau hujan. Sebaiknya segera pulang, rumahnya jauh to?

 Aku langsung paham.

Ibu tidak menyukainya.

 

Beberapa menit kemudian, dia berpamitan. Lalu pulang. Setelahnya.

 

Kenapa bu?

 

Meskipun dia teman mu atau bukan setidaknya hargai ibu sebagai orang tua.

 

Memang nya apa yang dia lakukan?

 

Ketika ibu tanya, dia hanya menjelaskan dengan sepatah kata. Kesannya seperti malas diajak biacara.

 

Mungkin memang seperti itu anaknya...

 

Meskipun dia pendiam, setidaknya anggap ibu ada, tersenyum saja ibu sudah pasti suka. Dan yang terpenting, kalau mau bertemu orang tua setidaknya berpakaian yang sopan. Ibu tidak masalah dia menggunakan kaos atau bagaimana, setidaknya tidak pakai celana olahraga.

 

Aku terdiam. Ya memang sejak awal aku sudah tidak ada feeling dengannya. Aku menjalani pun juga karena terpaksa.

 

Lalu pasti kalian bertanya, apa hubungannya dengan 37 panggilan telefon ayahku ?

 

Ibu bercerita kepada ayah tentang kejadian hari itu. Tentu saja ayah tidak puas kalau tidak meledek ku. 37 panggilan itu pasti isinya

 

Kamu kok bisa kenal dia

 

Aku menulis kisah ini bukan agar kalian mengira orang tua ku se-pemilih itu. Justru ini pelajaran, bahwa terkadang pencitraan untuk terlihat sopan dan menyenangkan itu perlu. Bukan berarti menjadi diri sendiri itu tidak diperbolehkan,

 

Tapi, kalau kalian tau seperti apa pakaian yang di gunakan nya kala itu, kalian akan seratus persen setuju dengan sikap ibu ku.



Komentar

Postingan Populer