#8 TIDUR DI KAKI ORANG BELANDA
Terkadang aku menjadi bingung mengapa takdir berjalan seolah begitu lambat dan tenang padahal kami sedang sangat terburu buru. Riuh rimbun urusan di kepala harus seolah tidak terjadi apa apa tatkala diri sudah lelah dengan segala hal. Tidak ada lagi hal hal menyenangkan yang dinanti nanti setiap harinya. Egois memang, tapi aku telah lelah untuk bersabar.
Menatap nanar jauh kedepan, menembus kaca kaca di bilik kamar sembari membayangkan dari indahnya angan angan. Terkadang, aku hanya ingin bertanya kepada dua pohon besar, tidakkah kalian merasa malu? meminta bantuan pada pohon kecil yang baru saja tumbuh untuk memperkuat akarnya. Lamunan itu melambung jauh hingga menyentak pada kejadian beberapa hari belakangan. Dibalik teguhnya lautan, kita tidak pernah tau seberapa kuat ombak dalam menghantam karang. Hakikatnya, kehidupan hanya sebuah jalan cerita yang berjalan di atas tanah. Desirnya angin yang mengecup mesra pada bebatuan dan lautan, aku hanya menatap diam. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi? aku merasa segala sesuatu semakin rumit.
Tatapan ini terhenti melihat seorang gadis yang sangat menyukai belajar. Di tanah penuh peperangan ini, mengapa gadis itu masih sibuk dengan buku buku serta catatan yang selalu ia tinggalkan. Gadis itu tidak banyak berbicara bila sedang di rumah. sorot matanya sayu terkadang tajam. Dia memang terlihat tenang dan elegan, tapi siapa tahu isi kepalanya sedang berantakan? gadis itu membawa beberapa buku dan berjalan ke arah rumah nya sambil sesekali menengok buku buku yang ia bawa untuk memastikan bahwa malam ini akan jadi malam yang panjang baginya. Anak itu tinggal bersama kedua orang tuanya. ayahnya adalah seorang petani yang menggarap sawah milik Belanda. Ibunya, mengurus rumah dan sesekali membantu ayahnya.
Aku melihat keberuntungan dan kemalangan pada gadis itu. Gadis seusianya banyak yang sudah menikah atau bahkan putus sekolah. Bahkan, beberapa dijual untuk menjadi gundik simpanan Belanda. Namun, gadis itu tidak. Orang tuanya mendukung kegemarannya untuk belajar, namun juga tidak mendukung sebagaimana yang kita bayangkan. Terkadang permasalahan ekonomi terlalu pelik dirasakan bagi keluarga itu. Kerap kali mereka meminta sang gadis untuk menemui para Belanda dan meminta bantuan. Gadis itu merasa malu dan direndahkan. ia berpikir bahwa meminta bantuan atau berkunjung ke rumah orang Belanda hanya akan menyebarkan fitnah bagi namanya diseluruh kalangan bahwa seorang yang terpelajar ternyata menjadi simpanan Belanda.
Sekali ia menolak, dua kali ia menolak, tiga kali ia mengiyakan. Bukan karena dia mau, tapi karena tidak ada lagi yang bisa ia laukaan. Beberapa rumah yang ia datangi tidak membukakan pintu bahkan anjing nya menyalak tajam pada gadis itu. Beberapa rumah membukakan pintu dan menyuruhnya duduk untuk meminum sececap teh asli dari Belanda, namun setelah mengetahui tujuannya, mereka akan langsung mengusirnya.
Dalam derasnya hujan gadis itu tertunduk menatap buku buku yang ia bawa basah dan rusak bahkan belum sempat ia baca. Sejak saat itu ia sungguh marah dan kecewa terhadap kedua orang tuanya. Ayah gadis itu sering berjanji bahwa gadis itu tidak akan pernah menjadi kaya bila tidak mengikuti jejaknya sebagai petani penggarap tanah Belanda. Ia marah sebab orang yang ia sayangi yang akhirnya memasukkan nya kedalam jurang.
Sejak malam itu, tidurnya tidak lagi tenang untuk semangat menjemput masa depan. Sejak saat itu, senyumnya padam.
Komentar
Posting Komentar