pict by pinterest
Aku ingin memulai bagaian ini dengan narasi pada kata rindu. Bagiku, mengungkapkan kata rindu sama susahnya dengan menyelesaikan aljabar dengan sin cos tan nya.
Singkatnya, aku merindukan rumah. Sebelumnya aku pernah menjelaskan, kalau kalau ingin bersua untuk berjumpa temui saja di karbela. Sekarang, persoalannya sudah berbeda. Aku sudah tidak di karbela.
Aku menulis catatan ini ketika aku sedang duduk di baris kedua L13E, nomor kode untuk bus trans jakarta rute puri beta. Singkatnya, meskipun aku nyaman dan jatuh cinta dengan langit di karbela, aku tetap butuh teman. Teman ngobrol, cerita, ba bi bu, dan tertawa. Puri beta, kamar ke tiga ada di lantai dua. Lengkapnya, aku tuliskan saja melalui chat kalau kalau mau kirim gofood atau semacamnya.
Belakangan, aku merindukan rumah, merindukan ayah yang suka panggil dari ruang makan dan sibuk bercerita tentang ikan hasil pancingan. Aku rindu ibu, yang suka usil narik selimut ketika aku masih hanyut dalam ruang ruang mimpi. Hanya dua hal itu saja, sebab aku tak bersaudara.
Oh, aku baru ingat. Aku juga merindukan spot foto di kamarku, tergantung banyak fotobox yang isinya sebenarnya muka ku semua, bisa saja aku melihat nya di depan kaca cuma feelnya beda.
Lalu, apa lagi ya yang bisa ku rindukan?
Aku merindukan rumah, yang baunya hangat ketika hujan mendera, yang hawanya sejuk ketika langit sedang panas panasnya. Aku rindu memasak mi instan dengan telur setengah matang dan irisan cabai rawit untuk menambah sensasi terbakar pada lidah dikala hujan.
Selebihnya aku merindukan malang. Tentu dengan rawon yang kuahnya hitam, taburan kecambah menambah rasa gurih dan semangkuk nasi punel hangat. Mencecap sesendok dua sendok, sampai mungkin sepiring... Sepiring saja, aku tidak nambah.
Sebulan, aku adaptasi dengan panas nya jakarta. Dua bulan, aku nyaman dengan hiruk pikuknya, tiga bulan aku menyukai di perantauan.
Telefon masuk pukul 8 malam "bos besar" nama yang kusematkan untuk nomor telfon yang terhubung langsung dengan ayahku. Sengaja kutulis demikian, biar keren saja. Sejenak setelah telfon ku angkat "gimana hari ini" suara ibu ternyata. Memang ibu ibu pada dasarnya, biar kuota tidak berkurang pakai saja aset suami untuk komunikasi.
"aman buk, tadi aku rapat bla bla bla" cerita panjang lebar jadinya. Hingga aku terhenti pada pertanyaan "kamu gak kangen rumah? Ini kan pertama kalinya kamu jauh dari ayah ibu, kamu gak kangen ta nduk?"
Nyes.
Aku diam. "udah ya buk, baterai ku habis. Mau ngecas dulu. Sehat sehat di rumah, besok aku masuk pagi jadi langsung bubuk"
"oh yawes nduk, ati ati ya ndek sana. Makan yang bener, istirahat yang cukup, semoga ilmunya bermanfaat, semoga bertemu orang orang baik"
Clek.
Aku tau itu tidak menjawab pertanyaan tadi. Aku tau itu menjadi ironi ketika aku yang perempuan, aku yang anak satu satunya tapi kesulitan hanya untuk mengucap "iya, kangen buk"
Aku terlalu gengsi untuk bilang kangen. Setetes, dua tetes. Iya, aku kangen. Doa ibu di penghujung telfon selalu sama 'semoga bertemu dengan orang orang baik' mungkin ibu tau, anaknya ini gampang merasa kesepian, gampang overthinking sehingga doanya semoga bertemu orang baik.
Panjang lebar tulisan ku ini, ku tulis sejak di halte departemen kesehatan hingga halte adam malik. Seberapa jauh itu? Nanti aku ceritakan, kapan kapan kalau bertemu.
Komentar
Posting Komentar